Breaking News
Loading...
Tuesday, August 6, 2013

Info Post
Upacara “TELU BULAN” Dan Trend Masyarakat  - Upacara Telu Bulan (tiga bulan) yang juga lazim disebut sambutan, dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari. Ada sementara kalangan yang menganggap, upacara ini semacam “pengesahan” alias “peresmian” seorang menjadi Hindu. Namun ada juga yang tidak menganggapnya demikian. Dalam kehidupan di masyarakat, sering dijumpai uapcara telu bulan dilaksanakan setelah dewasa, bahkan ada yang berupacara tiga bulanan di kala sudah uzur. Trend lain, upacara tiga bulanan dihadiri undangan kerabat dan relasi, yang tak tersangkut hubungan keluarga dengan si empunya upacara.

Menurut Sri Mpu Jaya Rekanandha dari Geria Nataran, Kayumas, Denpasar upacara tiga bulan sangat penting dilakukan tepat pada waktunya (saat bayi berusia 3 bulan menurut kalender Bali) oleh umat Hindu. Sebab, menurutnya, pada saat inilah bayi baru “menjadi manusia” dan dinyatakan sebagai pemeluk Hindu. 

Oleh karenanya, upacara ini hendaknya jangan ditunda. Logikanya, manusia hanya sekali berusia 3 bulan (berumur 105 hari). Berbeda dengan weton (oton), yang datangnya tiap 6 bulan (210 hari), sebagai peringatan hari kelahiran.

“Jangan menunda upacara telu bulanan dengan alasan biaya. Oleh karena tidak harus besar, besar-kecil biaya pada hati nurani. Banten yang terpenting dalam nyambutin adalah tebasan banten sambutan dan aed sambutan yang tidak begitu banyak. Kalau dihitung-hitung tidak akan menghabiskan uang lebih dari Rp 100.000,” ujar Sri Mpu.

Dia menambahkan, yang membuat biaya menjadi besar adalah banten ulu. Untuk banten ulu, kata dia, ada tiga pilihan yakni nista (tidak sama dengan pengertian “nista” dalam bahasa Indonesia), madya dan utama. Untuk banten nista memakai suci, madya dengan pulagembal dan utama dengan bebangkit. “Kalau toh kita membeli sebuah suci, harganya berkisar 20.000. Apakah itu terlalu mahal? Lain hal kalau memakai bebangkit, yang memang mahal, apalagi ada babi gulingnya sampai tiga buah. Yang penting, kita melakukan upcara apa. Kalau nyambutin ya, bantennya banten sambutan, bukan banten ulu,” ujar Sri Mpu. Dalam sastra drsta sesuai dengan Weda, lanjutnya, tidak ada keharusan memakai babi guling dalam banten upcara tiga bulanan ini.

Karena bisa disederhanakan itu, Sri Mpu menyayangkan jika upacara telu bulanan dilakukan pada saat sudah dewasa, atau sesudah tanggal gigi. “Kalau melakukan upcara telu bulanan ketika sudah dewasa, itu berarti sejak lahir sampai dewasa orang tersebut belum disebut sebagai manusia,” ujarnya.

Kekeliruan dalam melaksanakan aktivitas upacara ini, karena ada sebagian masyarakat yang masih dicekoki oleh desa drsta. Karenanya, Sri Mpu amat menyayangkan. “Hendaknya agama, Weda, sastra drsta jangan dikalahkan desa mawacara. Ini berarta adat telah mengalahkan agama. Kita mesti bicara sastranya, “ujarnya seraya menandaskan, menjadi tugas umat, PHDI dan lembaga adat untuk menegakkan ajaran agama. “Desa adatlah yang harus menegakkan agama, bukan malah merusaknya.”

Jadi, kata Sri Mpu Jaya Rekanandha, sesuai dengan Manadharma Sasra, upacar sambutan mutlak dilaksanakan manusia Hindu pada umur 105 hari sebagai pengesahan seorang Hindu. Pengesahan itu lewat simbol mapetik (potong rambut), mawinten, malukat, dan majaya-jaya. “Mapetik merupakan simbol membuang leteh (kekotoran jiwa) yang dibawa sejak lahir dengan cara memotong rambut mengikuti arah pengider-ider (arah mata angin). Mawinten memohon kepada Sang Hyang Aji Saraswati, Ganapati, Guru Pasupati dengan harapan agar si bayi menjadi pintar, senang belajar, dan dalam belajar itu tidak salah. Malukat menghilangkan sebel kandel. Sedangkan majaya-jaya mempunyai tujuan mengkukuhkan ikatan sang Hyang Atma dengan angga sarira si bayi dengan harapan agar dia menjadi manusia yang baik,” ujarnya. 

Diibaratkan mendirikan bangunan, “Pada saat uapcara sambutan inilah merupakan peletakkan batu pertama sebuah bangunan. Bagaimana kita mengharapkan bangunan kukuh, kalau peletakkan batu pertama tidak kuat. Agar bangunan baik dan kukuh, maka saat peletakan batu pertama ini harus diperhatikan.”

Upacara telu bulanan ini tidak memerlukan adanya saksi (dari luar lingkungan keluarga). “ Saksi diperlukan saat upacara perkawinan, yakni upasaksi, manusa saksi dan dewa saksi. Dengan demikian, saat telu bulanan kita tidak perlu mengundang. Kalau toh ada yang mengundang, itu namanya ajum (berlebihan),’ ujarnya.

Seorang Hindu, kata Sri Mpu lebih lanjut, dalam kehidupannya mengalami tiga kali inisiasi atau sinangaskara, ketika berumur tiga bulan, akil balik (menek kelih) atau daha taruna dan saat nyekah (setelah upacara pengabenan). “Kalau beruntung saat menjadi brahmana kita mengalami sinangaskara sekali lagi,” katanya.

Sira Mpu Pande Aji dari Geria Suci Tatasan, Denpasar menyatakan, ”Upacara tiga bulan anak, diyakini Hindu, agar si anak dapat beradaptasi dengan lingkungan secara baik.” Ini dapat dilihat dalam prosesi upacara menyentuhkan kaki bayi ke tanah. Menurut Sira Mpu, seorang anak Hindu yang sudah diizinkan menyentuh tanah, nantinya diharapkan memiliki ketahanan, kekuatan, ketabahan fisik dan mental untuk menghadapi situasi yang ada. Dengan kemampuan beradaptasi dan mengantisipasi lingkungan, anak akan tumbuh menjadi pemenang dalam pergulatan hidup.

Ditambahkan upacara tiga bulanan dilakukan di sanggah / merajan, secara filosofis pemilihan tempat ini bermakna mendaftarkan si anak pada leluhurnya. Juga sebagai permohonan perlindungan alam (pertiwi). Namun ia menekankan, upacara ini lebih dimaksudkan untuk membersihkan anak, baik secara lahir maupun batin. Karena kelahiran merupakan akibat proses kehidupan, di mana karma dalam kehidupan terdahulu dakan ikut menentukan kehidupan sekarang.

Bukan “Peresmian”
Drs. Gusti Ketut Widana, dosen Unhi Bali, tidak sependapat bila upacara tiga bulanan disebut pembaptisan atau peresmian seseorang menjadi Hindu. Sebab menurutnya, seorang sah disebut Hindu sejak berada dalam kandungan (ditandai dengan upacara magedong-gedongan). Ini terkait dengan hubungan vertikal seseorang dengan leluhurnya. Karenanya, uapcara magedong-gedongan-lah “pengesahan” menjadi Hindu, menurut Widana.

Upacara magedong-gedongan mengutip pendapat Tjok Rai Sudharta dalam bukunya berjudul “Manusia dari Hindu sampai Perkawinan” ditujukan kepada si bayi yang ada dalam kandungan, dan merupakan upacara pertama sejak benih tercipta sebagai manusia. Magedong-gedongan dilakukan setelah kandungan berumur lebih dari enam bulan. Sedangkan upacara tiga bulanan, mengandung makna perpisahan dengan “empat saudara” yang mengikuti dan menolong bayi pada saat dilahirkan. Perpisahan ini hanya melepaskan unsur negatif yang dibawa oleh keempat saudara bayi itu.

0 komentar:

Post a Comment